ARTIKELArtikel GuruParenting

Punishment bagi anak sebelum tamyiiz (Parenting 010)

Punishment bagi anak sebelum tamyiiz

Anak akan menjadi sesuai harapan kita -dengan izin Allah- saat kita bisa mengarahkan kepada perkara yang baik pada waktu yang tepat. Untuk mengarahkan anak melakukan kewajiban atau sesuatu yang baik dan mencegah dari sesuatu yang buruk terkadang membutuhkan apresiasi (reward) dan hukuman (punishment).

Yang disayangkan, banyak dari orang tua atau pendidik yang belum memahami betul akan penerapan hukuman. Sebagian dari orang tua ada yang berpandangan bahwa anak kecil belum tamyiiz tidak perlu hukuman, itu hanya akan mematikan kreatifitas anak, apapun kesalahan anak, besar atau kecil tidak perlu dihukum.

Sebagian yang lain berpandangan bahwa anak yang salah harus dihukum, apapun bentuk kesalahannya dan apapun sebab anak bisa salah. Sebagian yang lain memperlakukan segala macam bentuk kesalahan dengan hukuman yang sama.

Hakikat hukuman dan tujuannya

Hukuman adalah tindakan yang diberikan oleh pendidik atau orang tua terhadap anak didik atau anak yang telah melakukan kesalahan, dengan tujuan agar anak didik tidak akan mengulanginya lagi dan akan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat.

Melihat dari hakikat hukuman di atas, para pendidik atau orang tua harus memperhatikan keselerasan antara hukuman dan tujuan. Karena hukuman adalah alat pendidikan yang tidak menyenangkan anak didik. Maka jangan sampai justru berakibat fatal terhadap perkembangan anak.

Tujuan hukuman adalah mendidik dengan membatasi perilaku yang tidak diinginkan dan memotivasi untuk menjauhi perilaku yang tidak diharapkan.

Bolehkah memberi hukuman pada anak kecil sebelum tamyiiz?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.

Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat. Bolehnya memberi pukulan jika anak telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya. Dalam hadits ini dicontohkanya di usia sepuluh tahun, karena biasanya anak usia sepuluh tahu sudah bisa memahamai arti hukuman pukulan.

Secara tidak langsung, berati juga boleh memberi hukuman kepada anak kecil yang belum tamyiiz, jika tidak membahayakan dan membuahkan manfaat pada perkembangan pendidikan anak.

Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.” Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.

Hadits ini menunjukkan bolehnya memberi hukuman kepada keluarga dengan rasa takut, karena perintah menggantungkan cambuk bukan berarti perintah untuk memperbanyak hukuman pukulan, akan tetapi sekedar membuat anggota keluarga secara umum takut terhadap ancaman tersebut.

Di antara dalil yang membolehkan memberi hukuman dan mengingatkan anak kecil atas kesalahan mereka meskipun belum mukallaf adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap Al Hasan bin Ali saat makan harta sedekah, saat itu beliau masih kecil dan hanya makan satu butir kurma saja, namun Rasulullah berkata, “Huk huk (ungkapan memerintahkan untuk memuntahkan yang dimakan), kita tidak boleh makan harta sedekah”.

Cara memberi punishment (hukuman)

Agar hukuman berjalan sesuai tujuan dan melahirkan motivasi pada anak untuk melakukan yang terbaik, maka membutuhkan cara dan metode dalam memberi hukuman. Sehingga hukuman tidak berdampak buruk pada pendidikan anak.

Ibnu Kholdun berkata, “Sikap keras dan galak seorang guru atau pendidik justru membahayakan anak didik, terlebih khusus pada anak didik yang masih kecil, karena sikap keras pada anak didik masih kecil adalah bentuk buruknya pendidikan, barangsiapa tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang keras dan memenjara jiwa, baik dilakukan oleh pendidik atau pembantu, akan menghilangkan kreatifitas anak, melahirkan sikap malas, mendorong untuk suka dusta, berbuat buruk, dan sikap berpura-pura karena takut akan hukuman. (Mukaddimah Ibnu Kholdun 508)

Adapun cara memberi hukuman adalah sebagai berikut :

  1. Memilih kesalahan yang berhak mendapatkan hukuman

Kesalahan anak itu beranekaragam jenis dan tingkatannya. Oleh karena itu, tidak semua kesalahan berhak dihukum. Ada kesalahan anak yang perlu dilupakan dan tidak dianggap sebuah kesalahan, ada kesalahan yang cukup dipelototin, ada yang cukup menunjukkan tanda ketidaksukaan, ada yang cukup dengan peringatan ringan atau isyarat lembut, ada juga yang membutuhkan lebih tegas dengan melarang anak mendapatkan atau menggunakan apa yang ia sukai dan Ada juga kesalahan yang harus diberi hukum agar anak kapok dan jera.

Untuk membedakan mana kesalahan yang membutuhkan hukuman dan mana yang tidak membutuhkan hukuman seorang pendidik perlu banyak memperhatikan karakter anak. Jika memang kesalahan bisa diatasi tanpa hukuman maka tidak perlu menghukum.

2. Memilih jenis hukuman yang sesuai dengan kesalahan dan kondisi anak

Karena tingkat kesalahan yang berbeda dan kondisi kesiapan anak dalam menerima hukuman juga berbeda-beda, maka seorang pendidik tidak bisa menyamaratakan hukuman. Harus memperhatikan jenis hukuman, kesalahan, dan kondisi anak.

Selain itu, hukuman pada anak kecil sebelum tamyiiz bisa berupa hukuman fisik maupun maknawi. Hukuman fisik untuk anak usia dini sebelum tamyiiz tidak dianjurkan. Selama masih bisa menggunakan hukuman yang maknawi, seorang pendidik tidak boleh menggunakan hukuman fisik.

Seorang pendidik yang hanya menggunakan hukuman fisik menunjukkan lemahnya jiwa pendidik, maka ia perlu banyak belajar cara memberi hukuman selain fisik yang lebih bermanfaat.

Di antara hukuman yang sesuai dengan usia ini adalah menunjukkan muka cemberut atau tidak tertawa bersama anak, berpaling dari anak yang berbuat kesalahan dan menyambut anak yang tidak berbuat kesalahan, tidak mengajak berbicara dan tidak bercerita untuknya.

Jika memang harus menggunakan hukuman fisik, maka cukup sekedar menunjukkan alatnya saja, semisal menunjukkan tongkat, cambuk, atau cukup sekedar menjewer telinga anak saat memang benar-benar dibutuhkan dan harus ekstra hati-hati untuk tidak mencederai anak.

3. Tidak menghukum dengan hukuman yang dilarang oleh syariat.

Di antara hukuman yang dilarang syariat adalah memukul wajah, memukul terlalu keras hingga berbekas, memukul dalam keadaan sangat marah, bersikap terlalu keras dan kasar, dan menampakkan kemarahan yang meluap-luap.

Itulah beberapa ketentuan dalam memberikan hukuman pada anak kecil yang belum tamyiiz saat melakukan kesalahan yang benar-benar salah. (Ditulis oleh : Agus Susehno, Lc)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button