Hari Syakk adalah hari 30 Sya’ban hasil dari menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari disebabkan ketika meru’yat hilal, hilalnya tidak terlihat karena terhalang adanya mendung atau hujan atau awan, dll. Sehingga pada hari tersebut memunculkan keragu-raguan karena berpotensi adanya hilal, tapi tidak terlihat. Lalu bagaimana hukum puasa pada hari tersebut?
Sahabat Amar bin Yasir berkata,
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Siapa yang puasa pada hari syakk maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” (HR. Bukhariy)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لا يتقدمَن أحدكم رمضان بصوم يوم أو يومين، إلا أن يكون رجل كان يصوم صومه فليصم ذلك اليوم
“Janganlah seorang di antara kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali jika telah terbiasa dengan puasanya, maka hendaknya ia berpuasa pada hari itu” . (HR Bukhariy)
Maknanya adalah janganlah seseorang mendahului Ramadhan dengan puasa sehari dalam rangka kehati-hatian (khawatir Ramadhan telah masuk), karena puasa Ramadhan itu terkait dengan ru’yatul hilal, sehingga kita tidak boleh membebani diri dengan hal tersebut.
Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata:
قَالَ أَصْحَابُنَا: لا يَصِحُّ صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ عَنْ رَمَضَانَ بِلا خِلافٍ
“Ulama di kalangan mazhab kami berkata, ‘Tidak sah berpuasa pada hari syak (meragukan) masuknya Ramadhan tanpa adanya perselihan.”
Berkaitan hukum puasa hari syakk, Ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata: “Dalil-dalil dari As-Sunnah menunjukkan haramnya puasa tersebut.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 10/17)
وقال الشيخ محمد بن عثيمين رحمه الله بعد ذكر الخلاف في حكم صوم يوم الشك: “وأصح هذه الأقوال هو التحريم، ولكن إذا ثبت عند الإمام وجوب صوم هذا اليوم وأمر الناس بصومه فإنه لا ينابذ وتحصل عدم منابذته بألا يُظهر الإنسان فطره، وإنما يُفطر سراً.” الشرح الممتع 6/318.
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata setelah menyebutkan perselisihan dalam hukum puasa hari syakk: “Pendapat yang paling benar adalah haram. Akan tetapi jika pemimpin menetapkan wajibnya puasa pada hari tersebut dan memerintahkan rakyatnya untuk puasa, maka hal ini tidak boleh ditentang. Tidak menentangnya bisa dilakukan dengan tidak menampakkan berbuka di hadapan orang lain, tapi dengan berbuka sembunyi-sembunyi.” (Asy-Syarhul Mumti’ 6/318)
Wallahu a’lam bishshawab.
(Sri Mursalim)