Apakah istri harus mengetahui semua persoalan suami?
haruskah semua diketahui
Sebuah mahligai rumah tangga tidak pernah lepas dari berbagai macam problematika keluarga yang cenderung menumpuk dan mengkristal, baik datangnya dari pihak suami maupun istri. Penumpukan problem keluarga bisa menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak meluluhlantakkan rumah tangga. Karenanya, usaha maksimal untuk menjinakkan bom permasalahan menjadi sebuah keniscayaan, agar kita tidak mendengar ucapan seseorang , “Aku lebih bahagia saat bujang daripada keadaanku sekarang setelah menikah”.
Untuk mencairkan permasalahan dan menjinakkannya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi dari suami istri, jangan biarkan komunikasi dan keterbukaan suami istri membeku yang akan menyebabkan suami istri menutup diri, tidak terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya. Dengan adanya komunikasi suami istri, niscaya akan tercipta keluarga yang harmonis dan bepermadanikan cinta sejati yaitu cinta yang bersemi dalam hati, berkembang dalam kata, dan terurai dalam laku.
Komunikasi suami istri dan keterbukaan dalam hidup berumah tangga sangatlah urgen, bagaimana tidak? Bukankah hakikat pernikahan adalah sebuah ikatan kerja sama, saling menerima dan memberi, dan saling memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban? Bukankah ini semua tidak mungkin terlaksana kecuali dengan komunikasi dan keterbukaan suami istri?
Di antara bukti-bukti komunikasi suami istri yang telah dicontohkan oleh para salaf sangatlah banyak. Jika kita membaca sejarah, niscaya kita dapatkan bagaimana para istri mensupport suami dan berdiskusi dengannya.
Sejarah tidak pernah melupakan sikap Sayyidah Khadijah i istri Rasulullah r ketika beliau mendapati Rasulullah r gemetaran saat wahyu datang kepadanya kali pertama, dia tidak mengetahui bahwa yang datang kepadanya itu wahyu dari Allah, Rasulullah r saat itu berkata, “Aku takut pada diriku sendiri”, kemudian Khadijah menenangkannya, menghiburnya seraya berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan menyengsarakanmu, kamu selalu menyambung tali silaturahmi, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang tertimpa musibah” (Muttafaqun Alaih)
Jikalau Khadijah tidak membantu suaminya yaitu Rasulullah r untuk berbuat baik, niscaya Khadijah tidak berkata apa yang dia katakan, Khadijah membekali suaminya makanan dan minuman ketika menyendiri di gua hira bermunajat kepada Allah.
Kemudian Khadijah juga sebaik-baik pembantu baginya setelah diutus menjadi Nabi untuk menghadapi musuh-musuh beliau, sebaik-baik penolong, dan sebaik-baik orang yang membantu Rasulullah r untuk tegar dalam memegang kebenaran. Khadijah memberikan hartanya ketika beliau r diboikot orang-orang Quraisy, setia mendampingi beliau ketika orang-orang meninggalkannya, dan membenarkannya ketika orang-orang mendustakannya. Oleh karena itu, Allah memberi kabar gembira kepadanya dengan surga, Rasulullah r bersabda, “Berilah kabar gembira kepada Khadijah dengan sebuah rumah di surga dari permata, tidak ada keributan dan kelelahan”. (HR. Turmudzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Demikian pula sikap istri-istri Nabi r lainnya, istri-istri para sahabat, dan istri-istri para salaf solih, istri-istri mereka mendampingi suami-suami mereka di parit kebenaran, ikut memikul beban suami, dan ikut berjerih payah untuk menolong agama Allah.
Betapa indah rumah tangga yang dibangun di atas pondasi ketaatan kepada Allah Rabb semesta alam, betapa indah ketika istri membantu suaminya dalam ketaatan dan tidak membantunya dalam kemaksiatan, betapa indah ketika istri menaati suaminya dalam agama Allah. Para istri sekarang ini, harus banyak bercermin kepada istri para salaf, ingatlah ketika salah seorang dari mereka berkata kepada suaminya ketika menghantarkan suaminya yang hendak pergi kerja, dia berkara kepada suaminya:
“Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga kami, jangan beri makan kami dari yang haram, kami bisa sabar karena lapar di dunia dan kami tidak bisa tahan panasnya api neraka di hari kiamat.”
Inilah sepenggal contoh bagaimana komunikasi suami istri yang telah dilakukan oleh para salaf. Akan tetapi, apakah keterbukaan suami istri dan komunikasi melazimkan sang istri harus mengetahui semua persoalan suami? Apakah sang istri harus mengkorek semua hal yang dilakukan suami saat pergi atau kerja di luar rumah atau di luar kota?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengenal persoalan-persoalan rumah tangga yang harus diketahui istri dan persoalan-persoalan rumah tangga yang tidak harus diketahui istri.
Persoalan-persoalan rumah tangga yang harus diketahui istri
Perkara-perkara berkaitan langsung dengan rumah tangga seperti kebutuhan biologis, problematika yang sedang menghadang keluarga, perkembangan dan kondisi anak, dan perencanaan-perencanaan penting bagi keluarga untuk kedepannya seperti keuangan dan pendidikan anak, dll.
Perkara-perkara di atas adalah perkara-perkara yang harus diketahui, saling dipahami, dan saling dimusyawarahkan oleh suami istri. Mereka berdua harus bisa memahami dan menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul dipundak mereka untuk menyelesaikan dan menghadapi perkara-perkara ini. Karena pernikahan itu membutuhkan dua pasangan yang memiliki kecocokan dan yang telah matang pemikirannya, bukan pasangan yang bermental anak kecil, karena hakikat pernikahan adalah membina keluarga dan penunaian tanggung jawab yang tidak ringan. Betapa banyak pernikahan yang berakhir dengan kegagalan, karena kedua pasangan tidak memiliki tanggung jawab, masing-masing pasangan hanya ingin mencari ganti atas kekurangan yang selama ini dia rasakan sebelum menikah, mereka bermental anak kecil, tidak menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pundak mereka.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Ketahuilah, setiap diri dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dia pimpin, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas mereka.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Persoalan-persoalan yang tidak harus diketahui sang istri
Persoalan-persoalan khusus suami yang tidak berkaitan dengan urusan rumah tangga, seperti perincian urusan kerjaan suami dan aktivitas seperti dakwah dan lainnya yang tidak mengganggu dan tidak mengusik ketenangan dan ketentraman rumah tangga, dan tidak mengurangi kewajibannya dia dalam memenuhi hak-hak istri maka sang istri tidak berkewajiban mengetahui dan mengkorek atau mewancarai dengan sebarek pertanyaan.
Tidak wajibnya bagi sang istri mengetahui persoalan-persoalan ini, bukan berarti istri tidak boleh mengetahuinya sama sekali. Akan tetapi, sang suami harus bisa melihat kondisi istrinya, apakah sang istri bisa membantunya mencari solusi atau tidak? Jika bisa, maka tidak ada halangan bagi suami untuk mengajak istri berdiskusi dalam persoalan-persoalan khususnya. Demikian pula sang istri, dia harus bisa memahami kondisi suami yang sedang terhimpit persoalan atau tidak, kemudian dia berusaha meringankan beban dan persoalan yang sedang menghimpit suami.
Coba kita perhatikan, bagaimana Rasulullah mengajak diskusi istrinya Ummu Salamah saat para sahabatnya tidak mengindahkan perintahnya saat beliau r memerintahkan mereka untuk menyembelih hewan dan mencukur rambut setelah perjanjian Hudaibiyah. Maka, Ummu Salamah pun berkata kepada Rasulullah r , “Wahai Nabi Allah, apakah engkau senang hal ini, sekarang temui mereka dan jangan ajak bicara mereka meskipun satu kata hingga engkau menyembelih hewan sembelihanmu dan engkau memanggil orang yang mencukur rambutmu”. Maka Rasulullah menemui para sahabat, tidak mengajak bicara mereka dan beliau menyembelih hewan sembelihannya dan mencukur rambutnya, akhirnya para sahabatpun mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah r. (lihat Irwa’ul Ghalil)
Ibnu Hajar berkomentar: Hadits ini menunjukkan keutamaan musyawarah, perkataan jika dibarengi perbuatan itu lebih berbekas daripada perkataan saja, dan bolehnya mengajak istri bermusyawarah”.
Pangkal malapetaka rumah tangga
Telah kita sebutkan di atas bahwa istri tidak harus mengetahui semua persoalan suami. Akan tetapi, jika ada wanita yang selalu mengawasi gerak-gerik suaminya karena ketidakpercayaannya, maka pernikahan seseorang tidak akan berjalan mulus, bahkan yang muncul adalah kegelisahan, kecurigaan, tidak pernah merasa tenteram, dan sebagainya. Dan pada akhirnya Anda akan saling menyalahkan dan menuduh yang kesemuanya lahir dari sikap suka berprasangka buruk. Karenanya, salah satu unsure pokok dalam membina rumah tangga adalah rasa saling percaya dan tidak saling berprasangka buruk. (Ditulis oleh Agus Susehno, Lc)