Di antara faktor kunci sukses membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah adalah terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri secara imbang. Kedua belah pihak tidak terlalu banyak menuntut hak-hak dirinya dengan melupakan kewajibannya. Akan tetapi, masing-masing pihak menunaikan hak dan kewajiban mereka secara imbang.
Di antara kewajiban suami dan hak istri adalah suami berkewajiban menyediakan rumah tempat tinggal yang layak bagi istri dan anak-anaknya.
Namun, haruskah rumah itu adalah rumah sendiri? Bolehkah tinggal di rumah kontrakan? Bagaimana pula jika mertua mengajak mereka untuk tinggal seatap karena suami belum mampu menyediakan tempat tinggal? Bagaimana sikap istri antara menaati suaminya untuk tinggal bersama suami dengan orang tua yang melarangnya meninggalkan rumah. Bolehkah suami menempatkan istri-istrinya satu atap? Dan bolehkah sang istri mengajak keluarganya untuk tinggal serumah? Atau justru sebaliknya, yaitu sang suami menempatkan istrinya seatap dengan keluarga suami?
Seabrek pertanyaan di atas membutuhkan jawaban. Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kita harus mengilmui beberapa poin penting di bawah ini:
Sejauh mana kewajiban suami menyediakan tempat tinggal
Para ulama sepakat bahwa suami berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi istrinya. Mereka berdalil dengan beberapa dalil dan sebab, di antaranya:
Pertama : Allah mewajibkan para suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi para istri yang dicerai.
Allah berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” ( ath Thalaaq: 6)
Jika Allah mewajibkan para suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi istrinya yang ia ceraikan, maka menyediakan tempat tinggal bagi para istrinya yang tidak ia ceraikan tentunya lebih diwajibkan.
Kedua : Allah mewajibkan bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik. Sedangkan di antara bentuk perlakuan baik terhadap istri adalah menyiapkan tempat tinggal layak baginya. Allah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan perlakukanlah mereka dengan baik ” (an Nisa’:19)
Ketiga : Dikarnakan keberadaan istri yang tidak bisa terlepas dari rumah tempat mereka untuk menjaga diri dan berlindung dari pandangan orang lain, maka rumah adalah kewajiban bagi para suami terhadap istrinya.
Apa itu hakikat tempat tinggal yang layak bagi istri dan anak-anaknya?
Dari pembahasan di atas, kita mengetahui bahwa suami berkewajiban menyediakan tempat tinggal yang layak bagi istrinya. Namun, bagaimanakah tempat tinggal yang layak itu? Apakah suami harus menyediakan rumah milik sendiri? Atau cukup rumah kontrakan? Ataukah harus kredit rumah? Ataukah harus membangun rumah sendiri secara bertahap?
Jumhur Ulama menyatakan, bahwa batasan layak tidaknya tempat tinggal yang disediakan suami bagi istrinya adalah disesuaikan dengan kemampuan suami dan keadaan istri. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (ath Thalaaq: 6)
Dan juga firman Allah :
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah sesuai kemampuannya dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya” (ath Thalaaq: 7)
Jadi, tempat tinggal yang harus disediakan oleh suami untuk istri disesuaikan dengan kemampuan suami. Jika suami mampu menyediakan tempat tinggal milik sendiri, maka itulah kewajibannya. Jika suami mampu menyediakan tempat tinggal kontrakan, maka itulah kewajibannya. Jika mampu membeli rumah tempat tinggal secara kredit, maka itulah kewajibannya. Yang terpenting, tempat tinggal yang disediakan oleh suami harus tempat tinggal yang memungkinkan bagi istri untuk menjaga auratnya dan melindungi kesucian dirinya.
Bolehkah sang suami menempatkan istrinya bersama anggota keluarga suami lainnya?
Jumhur ulama menegaskan bahwa anggota keluarga suami semisal orang tua suami atau anak suami dari istri sebelumnya, tidak boleh ditempatkan dalam satu rumah bersama istrinya, dan istri boleh menolak untuk tinggal di rumah tersebut, kecuali jika sang istri ridho dan bersedia tinggal bersama mereka.
Adapun anak suami dari istri sebelumnya, jika masih kecil belum dewasa maka ulama sepakat akan kebolehannya. Namun, jika si anak telah dewasa, maka tidak boleh tinggal bersama mereka. (diringkas dari Shahih Fikih Sunnah 3/203 )
Bolehkan istri mengajak keluarganya untuk tinggal bersama di rumah yang disediakan oleh suami?
Seorang istri tidak memiliki hak untuk mengajak salah satu dari mahramnya untuk tinggal di rumah suami, dan bagi suami memiliki hak untuk melarang istri melakukan hal itu, kecuali jika saumi meridhoinya dan setuju atas keinginan istri.
Adapun anaknya yang bukan dari suaminya sekarang, juga tidak diperbolehkan baginya untuk mengajaknya tinggal bersama tanpa izin dari suaminya sekarang. (diringkas dari Shahih Fikih Sunnah 3/203)
Bolehkah suami menempatkan semua istri-istrinya dalam satu atap?
Jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu, maka kewajiban suami adalah menyediakan tempat tinggal bagi masing-masing istrinya. Hal ini berdasarkan firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan” (al Ahzab: 53)
Disebutkan dalam ayat ini, bahwa istri-istri Nabi -shalallohu alaihi wa sallam- memiliki banyak rumah, dan bukan satu rumah.
Memang kewajiban suami adalah menyediakan rumah bagi masing-masing istrinya, namun, jika istri-istrinya ridho untuk ditempatkan dalam satu atap, maka tidak mengapa, karena hal ini adalah hak mereka berdua. (diringkas dari Shahih Fikih Sunnah 3/204)
Manakah didahulukan oleh istri? Keinginan orang tua tinggal serumah atau ketaatan kepada suami untuk mandiri dan tinggal berpisah dari orang tua?
Perkara ini seolah terdapat kontradiksi antara keinginan istri untuk berbakti kepada kedua orangtuanya dengan keinginan untuk menaati suaminya. Manakah yang harus didahulukan?
Ketika seorang wanita menjadi istri seseorang, maka kewajiban istri yang paling utama adalah menaati suaminya, bahkan ia harus mendahulukan ketaatannya kepada suaminya daripada orang tuanya, karenanya Rasulullah -shalallohu alaihi wa sallam- bersabda:
« لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ».
“Seandainya aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada yang lain, tentua kuperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya” (HR Tirmidzi no 1159, dinilai oleh al Albani sebagai hadits hasan shahih).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahulloh- menjelaskan, “Seorang perempuan jika telah menikah maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua” (Majmu Fatawa 32/261).
Beliau kembali menjelaskan : “Seorang istri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin suami meski diperintahkan oleh bapak atau ibunya apalagi selain keduanya. Hukum ini adalah hukum yang disepakati oleh para imam. Jika suami ingin berpindah tempat tinggal dari tempat semula dan dia adalah seorang suami yang memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami serta menunaikan hak-hak istrinya lalu orang tua istri melarang anaknya untuk pergi bersama suami padahal suami memerintahkannya untuk turut pindah maka kewajiban istri adalah mentaati suami, bukan mentaati orang tuanya karena orang tua dalam hal ini dalam kondisi zalim. Orang tua tidak boleh melarang anak perempuannya untuk mentaati suami dalam masalah-masalah semacam ini” (Majmu Fatawa 32/263).
Jadi, tidak ada kontradiksi antara menaati suami dan berbakti kepada orang tua, karena berbakti kepada orang tua tidak mesti tinggal seatap dengan mereka, namun dengan cara-cara lain yang banyak yang diajarkan oleh syariat kepada kita.
Rumahku surgaku
Adanya tempat tinggal layak bagi pasutri belum menjamin kebahagiaan bagi pasutri itu sendiri, sebelum mereka menjadikan rumah tempat tinggal mereka bak surga bagi mereka di dunia ini. Rumah seolah surga bagi pasutri akan terwujud jika rumah tersebut beralaskan cinta karena Allah, beratapkan ketakwaan, berdindingkan keharmonisan, bepermadanikan kasih sayang, dan berjendelakan lapang dada. Itu semua bisa diraih jika pasutri menjadikan islam satu-satunya rujukan bagi mereka berdua dalam membina biduk rumah tangga.
Allah telah menegaskan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu” (al Maidah: 3)
Syeikh Assa’di -rahimahulloh- menjelaskan bahwa maksud Allah menyempurnakan agama adalah Allah menyempurnakan syariat-syariat islam yang lahir maupun yang batin, yang berkaitan dengan pokok-pokok agama maupun cabang-cabangnya”. (Tafsir Assa’di hal 219)
Semoga Allah -ta’ala- senantiasa membimbing kita dan menuntun kita agar selalu berjalan di atas jalan sunnah. (Ditulis oleh : Agus Susehno, Lc)