ARTIKELArtikel GuruFikih Keluarga

Ketika Wanita Terlanjur Bekerja

wanita_bekerja

Kewajiban mencari nafkah

Islam telah membebaskan wanita dari kewajiban mencari nafkah, islam menjadikan nafkahnya menjadi tanggung jawab ayahnya, saudaranya, suaminya, atau salah satu karib kerabatnya. Islam telah memberikan kewajiban kepada para suami untuk memberi nafkah keluarganya. Islam menjadikan tanggung jawab dan biaya keperluan istri di pundak suami, sehingga seorang istri bisa mencurahkan konsentrasinya untuk mengurus kehidupan dalam keluarga, menjadi seorang ibu sejati, menjadi lambang harumnya rumah tangga, teman curhat sang suami, permata rumah tangga, dan sumber keceriaan suami. Istri berperan sebagai motor penggerak dan pengatur segala urusan keseharian keluarga, istri sebagai sumber kelembutan yang memenuhi segala penjuru rumah, dan istri juga sebagai ruh dan tenaga penggerak untuk buah hatinya.

Allah I berfirman, “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah:233)

Nabi r bersabda, “Kamu (kaum lelaki) berkewajiban memberi rizki dan pakaian kepada istrimu” (HR. Muslim)

Islam sangat jauh dari pemikiran barat yang menyatakan bahwa seorang anak perempuan apabila telah mencapai umur tertentu (pada umumnya mencapai umur tujuh belas tahun), maka ayahnya, saudara lelakinya, atau salah satu karib kerabatnya tidak memiliki kewajiban untuk memberi nafkah kepadanya. Bahkan anak perempuan tersebut berkewajiban mencari pekerjaan sehingga dia mampu memberi nafkah atas dirinya sendiri dan dia juga berusaha menabung dari penghasilannya untuk dia berikan kepada calon suaminya yang dia idamkan. Setelah menikah, dia berkewajiban untuk membantu suaminya mencari nafkah bagi keluarga dan anak. Kemudian apabila telah beruban, namun dia masih memiliki kekuatan untuk mencari penghasilan, maka dia masih berkewajiban untuk terus mencari nafkah meskipun memiliki anak-anak yang banyak lagi kaya.

Bolehkah istri bekerja?

Ketika islam tidak membebani wanita untuk bekerja mencari nafkah, dan islam juga tidak mengikuti orang-orang barat dalam memandang wanita, bukan berarti islam mengharamkan para wanita untuk bekerja secara mutlak. Islam membolehkan wanita bekerja selama masih dalam batasan-batasan syariat dan dengan alasan-alasan yang dibenarkan syariat.

Oleh karena itu, wanita muslimah tidak akan mencari-cari pekerjaan di luar rumah kecuali dengan ketentuan-ketentuan berikut ini:

  1. Hendaklah dia bertanya kepada dirinya:

Apakah dia sangat membutuhkan untuk bekerja di luar rumah? Apakah masyarakat membutuhkannya karena tidak ada yang mampu mengerjakannya kecuali dirinya?, Apakah dia mampu melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga di samping pekerjaannya?, Apakah pekerjaan yang akan dia terjuni membahayakan dirinya, kehormatannya, agama dan akhlaknya? Apakah pekerjaannya mengganggu ketenangan rumah tangganya? Apakah suaminya mengizinkannya?

Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas disesuaikan dengan keadaan wanita itu sendiri, apakah dia sudah berkeluarga atau belum, mempunyai anak atau tidak.

Hal ini diisyaratkan oleh Nabi r dalam sabdanya, “Seorang wanita adalah yang mengurusi rumah tangganya dan dia bertanggung jawab atasnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Berpakaian islami saat bekerja. Allah I berfirman, “Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. (QS. Al Ahzab: 59)
  2. Tidak ada khulwat (berduaan) dengan lawan jenis bukan mahram. Dalam hal ini Nabi r menegaskan, “Janganlah seseorang di antara kalian berkhulwat (berduaan) dengan wanita kecuali ditemani mahram” (HR. Muslim)
  3. Tidak ada ikhtilat (campur baur antar lawan jenis). Para ulama menyimpulkan haramnya ikhtilat dari beberapa dalil, di antaranya Nabi r memisahkan shaf lelaki dan wanita saat salat, Rasulullah r memerintahkan para sahabat untuk diam sejenak di masjid hingga para wanita keluar, dan Allah juga melarang kaum wanita untuk berbicara lemah lembut di hadapan lelaki.

Seorang wanita boleh bekerja dengan pekerjaan yang sesuai dengan tabiatnya sebagai seorang wanita, baik dia menjadi pegawai negri sipil atau pegawai swasta. Bekerja di bidang kesehatan seperti dokter, perawat, bidan, bekerja di bidang pendidikan seperti menjadi guru dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang sesuai dengan tabiatnya sebagai wanita dengan catatan bahwa syarat-syarat di atas terpenuhi.

Bagaimana sikap suami ketika istri bekerja di luar rumah?

Seorang suami adalah pemimpin atas wanita, Allah berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (QS. An Nisa’ :36) . Syeikh As Sa’di menjelaskan maksud kepemimpinan kaum lelaki atas wanita adalah kewajiban suami untuk memerintahkan istrinya agar senantiasa menjaga hak-hak Allah dengan menjalankan kewajiban-kewajiban dan mencegahnya dari kemungkaran.

Di antara bentuk kepemimpinan suami atas istrinya adalah suami harus bisa mengambil sikap dan pendirian ketika istri ingin bekerja di luar rumah atau sudah terlanjur bekerja di luar rumah. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Jika istri bekerja di luar rumah tanpa seizinnya atau bekerja di luar rumah tanpa memperhatikan persyaratan di atas, maka suami berkewajiban melarangnya, karena seorang istri ketika sudah rela melemparkan dirinya dalam tungku pekerjaan, mulai masuk ke jantung persaingan kehidupan, berebut dengan kaum lelaki untuk menguasai pekerjaan mereka, atau sekedar ikut bersama-sama bekerja dengan mereka, tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas, maka pada hakikatnya perbuatan tersebut adalah bentuk kesesatan nyata, dan kegoncangan yang menyeramkan yang menimpa umat dan bangsa di  zaman degradasi moral, menyebarnya fitnah, kejelekan dan kesesatan. Yang sangat disayangkan sekali, wanita telah kehilangan hal paling berharga dan paling mulia yang diberikan oleh tabiat kewanitaan kepadanya yaitu dia kehilangan kewanitaannya kemudian dia akan kehilangan kebahagiaannya. Hal ini dikarnakan pekerjaan melelahkan yang dia tekuni terus menerus telah menghilangkan kesempatan baginya untuk bercanda ceria di kebun-kebun kecil yang menghiasi rumah tangga, yaitu kebun-kebun kecil yang menjadi tempat perlindungan dan pengaduan alami bagi lelaki maupun wanita, yaitu kebun-kebun kecil yang kuncup bunganya tidak bisa mekar dan menghembuskan wanginya tanpa sentuhan wanita. Kebahagiaan masyarakat dan individu, sumber ilham dan sumber segala macam kebaikan hanya ditemukan di dalam rumah dan di tengah-tengah asuhan keluarga.

Seorang penulis wanita terkenal dari inggris yaitu Anna Rurth berkata, “Ketahuilah, andai saja negara kita seperti negara kaum muslimin, yaitu negara yang memiliki kesucian dan menjaga kehormatan wanita merupakan selendangnya. Seorang pembantu atau budak bisa merasakan ketenangan dan kesenagan hidup, mereka juga diperlakukan seperti anak-anak perempuan lainnnya, mereka tidak dinodai kehormatannya sedikitpun. Sungguh merupakan aib bagi Negara Inggris yang menjadikan anak-anak perempuannya sebagai teladan keburukan dengan banyak bergaul dan hidup berdampingan dengan kaum lelaki. Mengapa kita tidak membiarkan anak perempuan bekerja sesuai dengan fitrahnya yaitu mengurusi rumah tangga?, Mengapa kita tidak membiarkan pekerjaan yang seharusnya dilakukan kaum lelaki untuk kaum lelaki saja? Ini semua untuk menjaga keselamatan kehormatan kaum wanita?!”

  1. Jika istri bekerja sesuai dengan tabiatnya sebagai wanita dan memenuhi persyaratan di atas, maka sang suami boleh mengizinkan dia untuk bekerja namun tetap mengawasinya agar tidak melakukan kemungkaran. Karena Rasulullah r bersabda, “Tiga orang yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat yaitu orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai lelaki, dan dayyuts (orang yang ridho terhadap kemungkaran)” (HR. An Nasa’i)

Wahai sepasang kekasih…

Sepasang kekasih yang mengarungi samudra kehidupan dengan bahtera rumah tangga harus berpegang teguh dengan petunjuk Al Quran dan Sunnah dalam menghadapi segala problematika kehidupan yang menghadang jalannya. Suami diharapkan tidak rela jika sang istri terlempar ke dalam tungku pekerjaan yang menyala-nyala, sang suami tidak rela jika istrinya menjadi barang murahan yang menjadi rebutan bagi para budak harta, dia tidak rela jika istrinya menjadi boneka mainan yang dijadikan hiburan oleh orang-orang yang tidak memiliki malu lagi bodoh, dia menolak keras kemajuan palsu lagi cacat yang menyeru para wanita untuk keluar rumah seraya menampakkan perhiasannya, dia berpakaian namun telanjang, dia bersolek diri, sehingga dia mampu bekerja di samping kaum lelaki bekerja bersama mereka di kantor-kantor para pegawai.

Demikian pula seorang istri harus memiliki pendirian kokoh lagi tetap, dia berusaha memberikan andil kepada masyarakat dan umatnya, dia menyeru mereka untuk menghilangkan kemajuan palsu yang menyeru para wanita untuk ikut berdesak-desakkan dan berebut dengan kaum lelaki dalam mencari pekerjaan.

Sesungguhnya bobroknya akhlak dan rumah tangga berantakan merupakan contoh akibat yang ditimbulkan dari keikutsertaan wanita dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan kaum lelaki, bahkan akibat buruk ini lebih besar dari pada manfaat yang dihasilkan ketika para wanita ikut bekerja dengan kaum lelaki. (Ditulis oleh : Agus Susehno, Lc)

Related Articles

Tanggapan Anda

Back to top button